The Tiger Rising by Kate DiCamillo

The Tiger Rising

Penulis: Kate DiCamillo
Penerbit: Walker Books
Tahun terbit: 2015
Tebal: 144 halaman
Genre: Realistic Fiction - Interpersonal fiction - Children Fiction
Target: Teen (11 tahun ke atas)
Score: Yummy!

Kalimat pertama The Tiger Rising

: That morning, after he discovered the tiger, Rob went and stood under the Kentucky Star Motel sign and waited for the school bus just like it was any other day

Sebagai buku Kate DiCamillo pertama yang kubaca, The Tiger Rising memberi impresi yang cukup bagus untukku berburu buku Kate yang lain.


Karena aku mengenal Kate DiCamillo dari karyanya yang bergenre fantasi: The Tales of Despereaux, The Magician's Elephant, dan The Miraculous Journey of Edward Tulane (yang kebetulan belum kubatja satu pun), aku sempat mengira The Tiger Rising bergenre sama. Tapi disebut realistic fiction pun agak sedikit kurang tepat sih. Aura mistis dan ajaib menguar kuat dari buku ini. Seolah ada kabut di latar belakang. Seolah waktu yang menjadi latar cerita membeku.

The Tiger Rising berkisah mengenai seorang bocah bernama Rob Horton yang suatu hari bertemu dengan gadis cilik, yang nantinya menjadi sahabatnya, bernama Sistine Bailey. Mereka bertemu di dalam bus sekolah.

Bagaimana mereka bisa berteman baik mungkin jadi misteri bagi sebagian orang. Sebab keduanya merupakan dua entitas yang berseberangan. Bila Sistine secara blak-blakan memamerkan apa yang dia rasakan, maka Rob kebalikannya. Bocah itu justru lebih sering menyembunyikan apa yang dia rasakan dan menguncinya rapat-rapat, sama rapatnya seperti kandang yang membatasi gerak harimau yang tak sengaja ditemukannya di suatu pagi.

..., but Rob didn't cry. He never cried. He was a pro at not-crying. He was the best not-crier in the world....

Yang aku suka dari bukunya Kate DiCamillo, omong-omong aku sudah membaca dua buku darinya, adalah sikap karakternya tidak pernah melebihi usianya.

Kendati Rob jago sekali menutupi apa yang dia rasakan, dia tak pernah berhenti menjadi anak kecil. Dan kemampuannya yang diakuinya sebagai yang terbaik di dunia itu bukan datang dari pemahamannya sendiri, tapi merupakan suatu hal yang diajarkan oleh ayahnya.

Menurut ayah Rob, menangis itu kegiatan yang buang-buang waktu.

Menurut ayah Rob, menangis itu kegiatan yang sia-sia, dan sampai kapan pun tak kan mengubah apapun.

Dan karena ayahnya merupakan panutannya, maka Rob tahu akan lebih baik mengikuti jejak ayahnya.

Tapi kehadiran Sistine tak pernah diantisipasi olehnya.

Sistine tidak hanya menunjukkan apa yang dirasakannya lewat kata-kata, tapi juga lewat apapun yang ada pada dirinya.

Tapi kehadiran Sistine saja belumlah cukup, menurutku. Hanya karena kita mendapat teman baru, yang mungkin secara kebetulan memiliki kesamaan dengan kita, tidak berarti kita akan berubah seperti teman kita, kan? Tidak berarti kita akan berhenti menjadi diri kita sendiri, kan? Diperlukan "tangan takdir" yang menuntun Rob pada si harimau.

Harimau yang terpenjara di sangkarnya di tengah hutan.

Harimau yang hanya muncul sekilas dalam cerita.

Harimau yang oleh penulisnya dijadikan judul cerita: The Tiger Rising.

Si tiger mungkin muncul sesekali, dia bahkan tidak bicara sepatah kata pun (atau dia bicara? Tapi dalam bahasanya sendiri? Mungkin saja, siapa yang tahu?), tapi dia ikut andil dalam kehidupan Rob.

"You ever been to a zoo?" Rob asked her.
"One time," said Willie May. She cracked her gum. "Went to that zoo over in Sorley. Place stunk."
"Do you think them animals minded it? Being locked up?"

Dan aku tidak tahu lagi harus menulis apalagi. Apakah sedikit gambaran di atas masih kurang meyakinkan kalian untuk membaca buku ini?

0 comments:

Posting Komentar

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!