Sabtu Bersama Bapak by Adhitya Mulya

Sabtu Bersama Bapak

Penulis: Adhitya Mulya
Penerbit: Gagasmedia
Tahun terbit: 2015
Tebal: X + 278 halaman
Genre: Family Fiction - Realistic Fiction - Romance
Target: Teen (12 tahun ke atas)
Score: Almost Yummy!

Kalimat pertama Sabtu Bersama Bapak

: Jakarta, Desember 1991.

Seandainya tidak diadaptasi ke layar lebar, mungkin Sabtu Bersama Bapak bakal mengendap lama di timbunan, hahah.

Tanpa melihat sinopsis yang tercetak di sampul belakang, karena bisa dibilang aku sudah sangat jarang sekali melihat sampul bagian tersebut, aku sempat mengira Sabtu Bersama Bapak adalah sebuah novel yang mana tiap Sabtu ada acara kumpul bersama Bapak, dan Bapak ini memberikan nasihat-nasihatnya pada anak-anaknya. Dan dugaanku tidak sepenuhnya salah. Tiap Sabtu, bapak dari Satya dan Cakra, akan berbicara kepada mereka dari masa lalu ... lewat rekaman.
"Iya, benar kok, ini Bapak.
Bapak cuma pindah ke tempat lain. Gak sakit. Alhamdulillah, berkat doa Satya dan Cakra."

Adalah Gunawan Garnida, suami dari Itje Garnida, dan bapak dari Satya dan Cakra. Di usianya yang ke-38 tahun, dia mendapatkan ide brilian untuk merekam banyak hal, yang nantinya keberadaan kaset-kaset rekaman tersebut diharapkan dapat menjadi pengganti keberadaan dirinya.

Pengganti dirinya? Apakah dia hendak pergi?

Ya.

Kalau dia pergi, pasti dia akan pulang kan?

Dia pergi sekaligus pulang. Pulang ke pelukan Bumi. Ya, Gunawan Garnida, seorang bapak, divonis waktunya untuk menemani keluarganya tidak akan lama. Hal ini dikarenakan ada penyakit yang mencuri sedikit demi sedikit waktunya di dunia. Jadilah dia berpikir kreatif bagaimana membuat keberadaannya tetap ada untuk keluarga yang disayanginya meski dirinya telah ... pindah ke tempat lain.

"Kalian duduk di sini.
Sudah, kalian berhenti menangis.
Mamah nyalain TV dulu."
"Saka gak mau nonton TV. Saka mau Bapak." Cakra menangis dengan suara meninggi.

Dengan buku ini menjadi bestseller selama dua tahun ini, dan diadaptasi ke layar lebar dengan judul sama, ditambah dengan obrolan beberapa teman yang mengatakan buku ini akan memberi efek seperti mata kita berada dekat dengan bawang, tentu saja aku berekspektasi tinggi Sabtu Bersama Bapak akan membuat hatiku mengharu biru. Tidak harus sesenggukan sampai mengeluarkan ingus (eww), tapi setidaknya membuatku berkaca-kaca. Tapi yah ... sayangnya, ekspektasiku tidak terlalu terbayar. Dari awal sampai akhir aku tidak merasa sedih sama sekali.

Sementara pakai gambar dulu, foto menyusul xD
Bukan. Aku tidak bilang Sabtu Bersama Bapak buku yang jelek. Sabtu Bersama Bapak adalah buku yang bagus. Salah satu buku terbaik yang kubaca tahun ini malahan. Bapak Gunawan adalah sosok bapak impian, dia cerdas, pintar, dan baik, dan sangat peduli pada keluarganya. Dia jago pula dalam membuat rencana jangka panjang. Dia juga cukup gaul, meski dia hidup hanya sampai awal-awal tahun 90-an, omongannya sudah ada campuran Inggrisnya. Jadi ya sosok yang keren, membiasakan anak-anaknya buat ngomong bahasa Internasional. Dan tak lupa, ide si Bapak yang rekaman dari masa lalu juga patut mendapatkan tepukan. Cukup orisinal. Karena kalau di cerita lain kebanyakan pasti pakai surat. Seperti P. S. I Love You, misalnya.

Tapi jujur, aku tidak merasa sedih sama sekali. Jangankan mewek, mimbik-mimbik (?) aja enggak. karena ... keluarga Garnida adalah salah satu keluarga, yang menurutku, paling bahagia di muka Bumi. Mereka beruntung punya Bapak seperti Gunawan. Coba bila Gunawan tidak punya ide memberikan pesan dari masa lalu, keberadaannya mungkin dalam beberapa tahun setelah kepindahannya ke tempat lain akan dilupakan oleh keluarganya. Atau bahkan keluarganya tidak akan begitu ingat dengan wajah sang Bapak bila tidak dibantu dengan selembar potret.

Hidup mereka juga mapan. Berkat sang Bapak yang punya pikiran panjang (?), si Ibu bisa mengembangkan sayap (?) Kedua anak mereka juga sukses dalam bidangnya masing-masing. Jadi apa yang perlu ditangisi?

Kalau kalian tanya aku, jawabannya tidak ada.

Aku tahu, mereka baru saja kehilangan sosok bapak dan suami. Tapi sosoknya tak pernah terasa hilang. Mungkin karena di antara semua tokoh dalam buku ini, Bapak-lah yang punya karakter paling kuat di antara semuanya. Lagipula, beliau menjadi judul buku ini bukan?

Dengan tidak memasukkan Bapak, karena beliau sudah berpulang, tokoh utama dalam kisah ini ada tiga orang; Itje (Sang Ibu), Satya, dan Cakra (atau Saka), maka kita akan disuguhi dengan cerita dari mereka masing-masing. Dengan tambahan sudut pandang dari pasangan Satya dan Cakra. Itje punya masalah dengan kesehatannya. Satya punya masalah dengan istrinya. Sementara Cakra di-bully banyak orang termasuk penulisnya hahah karena tampaknya dia dikutuk jadi jomblo seumur hidup.

Dari ketiga karakter tersebut, ditambah dua, jujur, hanya Cakra yang cukup menarik perhatian. Hal ini mungkin karena, entah hanya diriku saja tapi aku merasa, part Cakra jauh lebih banyak ketimbang part Itje dan Satya. Ditambah lagi status jomblonya dibully abis-abisan sama teman-temannya. Kadang lutju, tapi kadang aku merasa kasihan padanya karena teman-temannya agak sedikit keterlaluan. Susah ya jadi jomblo di Indonesia XD

Selain plot bully-nya itu, ada satu lagi yang bikin Cakra jauh lebih memorable ketimbang Ibu, Abang, dan dua tokoh lainnya: Quote tentang cinta yang merupakan ajaran dari Sang Bapak.

“Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan.

Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain”

Agak sedikit bernada menggurui, menurutku, tapi tak bisa dipungkiri kalimat di atas merupakan quote yang bagus sekali, quote terbagus dan merupakan favoritku di buku ini malahan, memberi makna baru dalam memaknai sebuah hubungan.

Kira-kira setelah ini banyak yang pakai ajaran Bapak enggak ya? :)))

Meski menyoroti hidup satu keluarga, dari yang berumah tangga hingga yang masih dalam pencarian pasangan yang tepat, Sabtu Bersama Bapak bisa dibilang masih cukup aman dibaca anak-anak remaja. Bahasanya sederhana, mudah dipahami, dan ditulis dalam bahasa gaul bahkan di dalam narasi. Banyak quote-quote yang bagus juga yang bisa dikutip dalam banyak kesempatan. Tapi sayangnya, menurutku nih, karakter para tokohnya agak kurang digali. Kita hanya disuguhi permukaan saja. Jadinya ya, seperti yang aku bilang tadi nyaris tak ada yang menarik perhatianku. Cakra menarik karena dia tabah menghadapi bully-an. Tapi perubahannya ke Cakra mode bijaksana, momen di mana dia mengatakan kalimat bijak yang dipelajarinya dari Ayahnya, agak kurang mulus menurutku. Seolah-olah kayak sifat Cakra yang sebelumnya ditendang hilang secara mendadak.

Tapi terlepas dari itu semua, Sabtu Bersama Bapak tetaplah buku yang bagus. Bacaan ringan, full dengan petuah yang bisa dibatja oleh semua umur.

Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
http://feedmebook.blogspot.com/2016/02/master-post-tantangan-membaca-seveneves.html
Kategori: nomor 5 - telah diadaptasi ke layar lebar

YA RC | | |

0 comments:

Posting Komentar

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!