Requiem by Lauren Oliver

Requiem

Penulis: Lauren Oliver
Penerbit: Harper
Tahun terbit: 2013
Tebal: 307 halaman
Seri: Delirium #3
Genre: Dystopia - Fiksi Ilmiah - Romance - Action
Stew score: Sweet!
Target: Young - Adult (16 tahun ke atas!)

Kalimat pertama Requiem
I've started dreaming of Portland again.

Sececap Requiem

Alam liar sudah tak aman lagi. Pemerintah dan organisasi masyarakat yang sedang naik daun dan mendapat banyak sekali dukungan, DFA (Delirium Free America), bergerak lebih agresif dari tahun-tahun sebelumnya dengan mulai memasuki alam liar dan membasmi para resistan atau pemberontak.

Sementara itu, di sisi dalam tembok... Hana hendak melangsungkan pernikahan dengan anak sang walikota, eh atau lebih tepatnya, walikota baru, Fred Hargrove. Walikota sebelumnya, Ayah Fred, telah meninggal dalam insiden yang terjadi di penjara Kriptus. Suasana di dalam tembok pun cukup mengkhawatirkan. Demonstrasi dimana-mana. Kebanyakan mulai mempertanyakan, apakah pemerintah cukup kompeten untuk menjaga masyarakat dari virus paling mematikan dari yang paing mematikan: virus cinta?


Citarasa Requiem

Sejak membaca Pandemonium yang lebih... Menjual keseruan, aku tak lagi berharap Requiem bakal membuatku puas. Dan dugaanku benar. Walau Requiem bacaan yang... Seru. Penuh aksi dan lain-lain yang mengundang ketegangan. Aku tak menemukan hal spesial di dalamnya.

Masalahnya, tampaknya Kak Lauren kehabisan ide atau kayak dipaksa triloginya mesti berakhir baik. Tidak ada lagi kekangan, tidak ada lagi larangan bagi cinta. Cinta tak lagi merupakan virus. Pada akhirnya bermuara ke pemberontakan pada pemerintah yang menjadi solusi atau pilihan satu-satunya.

Dan aku rasa memang hanya plot itu saja yang bisa digunakan.

Karena sudah bosan bin jenuh dengan adegan aksi yang melibatkan lari dan kejar-kejaran serta kucing-kucingan dengan petugas berwajib, aku selalu menunggu-nunggu Hana ketika menjadi narator. Oh ya, Requiem dibagi jadi dua POV: Lena dan Hana. Lena dengan para invalid dan Hana dengan... Petualangannya mencari kebenaran.

Ini objektif ya. Aku memang sejak awal suka dengan Hana, tapi kisah di bagiannya jauh lebih menegangkan dibanding dengan bagian Lena yang beberapa bagiannya dihadirkan adegan yang aku curiga dipakai untuk mengundang simpati. Sama seperti pas bagian "biru" di Pandemonium, aku tak merasakan apa-apa. Datar-datar saja.

Oh ya, Hana ini sudah menjalani pengobatan atas virus cinta ya. Tapi... Tampaknya obat itu tak mempan menghapus karakter Hana yang kuat.

Fred yang sempat terkesan manis di novella a Delirium Story: Hana, di sini menampakkan taring aslinya. Dia ternyata sudah *beep* dan memiliki sikap yang *beep* dan dia telah melakukan *beeeeeep* Sisi lain Fred ini cukup mengejutkanku.

Jadi, secara keseluruhan, dari ketiga buku (utama) dalam seri ini aku hanya suka dengan Delirium. Yang dunia dystopianya memiliki apa yang komplit dan mumpuni untuk disebut dystopia (juga utopia bila dilihat dari orang yang benci cinta). Aku juga suka Delirium (tidak dengan Pandemonium dan Requiem) karena dia tak seperti novel dystopia-YA yang lebih ke arah menjual aksi-aksi-aksi dan minim bicara soal kemanusiaan. Oh ya, bagiku kadar "kemanusiaan" di buku kedua seri ini menghilang drastis. Sayang sekali. Padahal Cacthing Fire memberi contoh yang bagus dalam tema yang sedang digandrungi ini.

Karakter yang aku suka tetap Hana. Aku tidak memihak Alex dan Julian, walau aku lebih prefer ke Julian. Alex bertingkah aneh disini dengan bergaya ala-ala cowok dari anime Jepang; sok cool tapi dalam hati peduli.

Beberapa kebetulannya terasa nyaris tidak mulus. Terasa terlalu mudah untuk dilalui. Tapi itu masih mending dibandingkan endingnya yang... Cuman gitu doang.

Secara keseluruhan, aku kecewa pada Requiem. Dan bosan. Dan jenuh. Tapi tidak sampai benci atau jengkel seperti yang kualami bersama Insurgent. Banyak aksi, banyak debat, banyak drama dan kegalauan (tak terbatas pada kisah romansa, ya, perang pun bisa disebut drama bila berputar-putar mulu). Seandainya aku tidak penasaran bagaimana kisah ini berakhir, juga seandainya gaya bercerita kak Lauren tak enak dibaca, atau seandainya tak ada POV Hana, mungkin aku malas membaca buku ini atau berhenti di tengah jalan.

Bukan salah satu trilogi dystopia terbaik. Hanya buku pertamanya saja yang spektakuler.

P.S.
Tak tahu kenapa, lewat fotonya, kak Lauren ini mengingatkanku pada bintang film Hollywood, Alice Braga.

Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
| | read big

0 comments:

Posting Komentar

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!