A Thousand Splendid Suns by Khaled Hosseini

A Thousand Splendid Suns

Penulis: Khaled Hosseini
Penerbit: Qanita
Tahun terbit: 2010
Tebal: 512 halaman
Genre: Fiksi sejarah - Realistic fiction - Asian Literature (Afghanistan) - Bildungromans - Romance
Stew score: Yummy!
Target: Young - Adult (16 tahun ke atas!)

Kalimat pertama A Thousand Splendid Suns
Mariam baru berusia lima tahun ketika pertama kali mendengar kata harami.

Sececap A Thousand Splendid Suns

Mariam tahu dirinya adalah anak haram, tapi dia tak mengerti kenapa ibunya sangat membenci Jalil, ayahnya, dan terus mengatakan bahwa pria itu tidak mau mengakuinya sebagai anak? Kenapa ibunya mengatakan bahwa Jalil tak pernah menyayanginya?

Kalau tidak mau mengakui anak kenapa Jalil tiap akhir minggu datang mengunjungi mereka, kalau tidak menyayangi Mariam kenapa Jalil sering membawakan hadiah untuknya?

Suatu hari, di ulang tahunnya yang ke-16, Mariam ingin mendapatkan hadiah yang bukan berupa barang. Tapi berkunjung ke rumah dan bioskop milik Jalil. Oh ya, Mariam dan ibunya tinggal cukup jauh dari rumah Jalil, dan bisa dibilang lokasinya agak terpencil. Jalil tak memberi kepastian, tapi Mariam menunggu dan berharap bahwa Jalil akan menjemputnya. Sementara ibu Mariam mengancam, bila Mariam nekad pergi dari rumah, maka ibunya akan mati.

Tak tahan, Mariam pun diam-diam menuju rumah Jalil. Dia tak peduli dengan ancaman ibunya. Toh, wanita itu suka mengatakan hal-hal kasar. Tapi sesampainya di rumah Jalil, yang didapatinya... Tidak seperti yang diharapkannya. Akhirnya, dia pun pulang. Dan mendapati bahwa ancaman ibunya bukanlah ancaman kosong: ibunya mati bunuh diri.

Semenjak saat itu, kehidupannya pun jungkir-balik. Dia kehilangan arah. Dia dijodohkan dengan lelaki bau tanah yang kejam. Padahal yang dia inginkan hanya satu dan sederhana: dicintai. Hanya itu.

cover edisi Gold Qanita
Di kesempatan yang lain, ada seorang gadis bernama Laila. Dia gadis yang cantik, baik, dan pintar tapi memiliki ibu yang kasar dan kurang menyayanginya dan ayah yang lembek tapi sangat peduli padanya dan berjuang keras agar Laila menjadi wanita yang berpendidikan tinggi. Sayangnya, dia hidup di zaman yang salah.

Laila hidup di kala langit Afghanistan dipenuhi oleh roket yang beterbangan. Kondisi tak pernah aman. Perang terus dan terus terjadi. Hingga salah satu roket datang menghampiri rumahnya.

Gara-gara roket itu, seketika dia jadi yatim-piatu. Gara-gara roket itu, dia bertemu Mariam dan berbagi suami dengannya. Gara-gara roket itu, hidup mereka yang kelam menjadi terang berkat seribu mentari surga yang muncul di hadapan mereka.

Citarasa A Thousand Splendid Suns

Aku sebenarnya tidak terlalu penasaran dengan novel A Thousand Splendid Suns ini, apalagi setelah membaca kilasan di sampul belakangnya (aku biasanya menghindari novel-novel sedih yang tidak humoris sama sekali). Aku jauh lebih penasaran dengan karya Khaled Hosseini yang satunya, The Kite Runner.

Aku penasaran pada The Kite Runner karena kepopulerannya. Juga belakangan kilasan di sampul belakangnya yang mengisahkan sedikit ceritanya di mana tokoh utamanya mengkhianati sahabatnya yang sangat setia.

Tapi, yah, walau penasaran aku lebih ditakdirkan untuk membaca A Thousand Splendid Suns. Dan aku tidak kecewa. Buku ini... sedih tapi keren abis.

Daya tarik utama buku, bagiku, adalah timeline ceritanya yang menggunakan banyak zaman di Afghanistan: dari saat pendudukan Uni Soviet: di mana lelaki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama, perang saudara: di mana orang asli Afghan bisa menguasai negerinya sendiri tapi bertikai berebut kursi kuasa dan langit tak pernah absen dari burung besi berekor api berkekuatan dahsyat, pendudukan Taliban: di mana fasilitas lelaki dan perempuan dibedakan dan lelaki diwajibkan memelihara jambang dan jenggot dan sholat di masjid sementara perempuan dilarang bekerja dan hanya boleh keluar rumah dengan pakaian tertutup dan ditemani suaminya, hingga campur tangan Amerika.

Aku kira peraturan di Iran sudah cukup buruk, ternyata Afghanistan disaat pemerintahan Taliban jauh lebih buruk.

Di lembar-lembar awal, mungkin kalian akan merasa jenuh dengan pace A Thousand Splendid Suns yang terasa cukup lambat. Jauh lebih lambat dari kilasan (baca: blurb) yang tercetak di belakang buku. Kita akan dikenalkan dengan Mariam di masa kecil. Kita akan dikenalkan dengan kehidupan Mariam kecil yang tidak cukup baik tapi tak seburuk ketika dia dewasa. Kita akan dikenalkan dengan kehidupan sosial di salah satu kota kecil di Afghanistan.

Cerita mulai sangat seru ketika Mariam menikah, dari acara perjodohan paksa, dan memiliki suami yang sangat kasar. Dan tepat saat mulai seru itu, penulis "mengistirahatkan" Mariam dan mulai masuk ke tokoh utama kedua, Laila.

Aku kira, karena di kilasannya tak disebut, hanya Mariam-lah yang bakal jadi satu-satunya tokoh utama di A Thousand Splendid Suns. Nyatanya tidak.
Dibanding kisah Mariam, kisah awal Laila bisa dibilang tak terlalu kelam. Masalah awal yang merundungnya masalah pada remaja pada umumnya: orangtua yang lebih sayang pada saudara lainnya, diganggu anak sebaya, jatuh cinta pada sahabat.

Lalu, seperti yang sudah diduga, Laila kehilangan semua orang yang dikenalnya dan masa lalunya gara-gara roket nyasar.

Dan dari situlah Laila dan Mariam dipertemukan secara lebih personal.

Laila dan Mariam sebelumnya sudah saling bertemu. Mereka adalah tetangga. Tapi tak pernah benar-benar mengenal.

Walau A Thousand Splendid Suns tergolong buku bantal, buku ini hanya memperkenalkan sedikit tokoh. Dan nyaris semua tokohnya bernasib malang semua. Tidak heran, karena kondisi lingkungannya memungkinkannya.

Secara keseluruhan, sebagai buku yang menjanjikan momen-momen mengharukan, A Thousand Splendid Suns cukup memenuhi syarat. Di beberapa bagian, aku ikut sedih dengan apa yang dialami para tokohnya. Baik laki-laki dan perempuan semua sama menderitanya. Tapi kalau mau memperbandingkan, perempuan lebih jauh menderita, diperlakukan tak adil dan semena-mena, terutama ketika Taliban berkuasa, dan diperlukan seolah-olah mereka pelengkap. Kadang aku bertanya-tanya, ketika mereka memperlakukan perempuan seperti itu, apakah mereka tidak ingat siapa yang melahirkan mereka? Apakah mereka tidak ingat bahwa Nabi SAW dalam sebuah hadistnya pernah bersabda untuk menghormati ibu empat kali dari ayah?

Kemudian endingnya. Aku tidak puas dengan endingnya. Walau begitu, buku ini wajib dibaca. Terutama bagi yang tidak bangga dengan negerinya sendiri. Buku ini mungkin akan menampar mereka.

Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
| |

0 comments:

Posting Komentar

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!