The Fault in Our Stars by John Green

The Fault in Our Stars

Penulis: John Green
Penerbit: Dutton Books
Tebal: 321 halaman
Genre: Realistic Fiction - Romance - Fiksi Ilmiah
Stew score: Sugar - Free!
Target: Young - Adult (16 tahun ke atas!)

Sececap The Fault in Our Stars

Namanya Hazel, umurnya 16 tahun (atau 17 tahun?), dan dia memiliki tumor di paru-parunya sehingga butuh alat khusus untuk membantunya bernapas.

Namanya Augustus, umurnya 17 tahun (atau 18 tahun, begitulah yang awalnya diduga Hazel), dan dia memiliki satu kaki. Kakinya yang lain telah diamputasi karena kanker yang (pernah) dideritanya.

Mereka bertemu dalam sebuah forum berbagi khusus bagi penderita kanker atau mereka yang telah sembuh dari kanker. Dan ya, sejak mereka bertemu, hidup mereka pun berubah.

Citarasa The Fault in Our Stars

Lega. Itulah perasaan pertama yang timbul di benakku setelah aku menyelesaikan novel ini. Jujur, novel ini cukup "menyiksa"-ku—meski belum separah Spiral tapi untungnya bernasib sama sepertinya dan Bridget Jones's Diary: tak ada bagian yang dilompati alias dibaca tuntas dari awal sampai halaman terakhir. Tak seperti Insurgent, Chronicles of Willy Flarkies, Midnight Sun, The Sisterhood of the Travelling Pants dan seterusnya.

Tidak seperti Spiral, aku tidak ada masalah dengan gaya bercerita sang penulis. Gaya bercerita John Green bagus dan enak untuk dinikmati. Tapi aku kurang begitu terpesona dengan kisahnya. Bagiku, kisahnya datar-datar saja dan membosankan. Dan aku juga nggak ikut terharu saat di bagian ending. Dari POV juga temanya, aku sudah menduga akan ada adegan seperti itu tapi karena tak terhanyut kisahnya jadi ya efeknya juga... datar-datar dan biasa-biasa saja. Apalagi sampai bikin aku bilang, "Aw, aw, aw."

Lalu para karakternya, terutama karakter utamanya, bagiku biasa-biasa juga dan tidak menimbulkan rasa mentari simpati. Meski bila dibandingkan dengan tokoh utama A Walk to Remember atau Surat Kecil untuk Tuhan (cuman nonton filmnya), tokoh utama The Fault in Our Stars bisa dikatakan "berbeda" dan cukup unik dalam menerima kondisinya.

Satu-satunya hal yang aku suka dari The Fault in Our Stars adalah sarkasme yang ada di dalam buku ini yang diucapkan oleh dua tokoh utama dan satu tokoh pembantu. Bagian yang paling aku suka adalah tentang "Fight and Win."

Aku tidak akan menyinggung soal unsur religi-nya yang nyaris-nyaris... Topik yang biasanya bikin aku penasaran. Aku juga tidak akan menyinggung adegan yang ada di tempat jauh, meski sebenarnya aku telah membocorkan hal ini di awal. Tapi aku mau menyinggung soal game yang menggunakan sensor suara, benarkah game itu sudah ada di Amerika? Atau hanya fiksi doang? Berapa kira-kira harganya ya?

Overall, mungkin ini masalah selera saja. Mungkin juga karena aku terpengaruh oleh banyaknya yang mengatakan The Fault in Our Stars itu buku yang bagus, buku yang bikin mewek, buku yang bikin banyak pembaca ingin sekali punya seseorang seperti Augustus, jadinya aku berekspektasi tinggi pada buku yang cover terjemahannya nyaris mempengaruhiku untuk membelinya itu. Tapi untungnya, plot dalam kisah ini tidak terasa sinetron. Menghibur dan terkesan sangat nyata dan ada kemungkinan terjadi (aku harap sih tidak ada) pada hidup seseorang di dunia nyata. Dan ya, bagian yang "fight and win" itu cukup membuatku tersadar (realize) akan sesuatu.

Oh ya, hampir lupa. Kalian pasti penasaran kenapa ada "fiksi ilmiah" di genre. Tenang, bagi yang tidak suka fantasi, fiksi ilmiah di The Fault in Our Stars ini tidak ke arah fantasi kok, tapi lebih ke arah speculative fiction. Sejujurnya, aku sendiri tidak akan menambahkannya jika seandainya penulis tidak memberikan keterangan di akhir bukunya mengenai sesuatu yang cukup krusial bagi tokoh utamanya. Dan bisa aku katakan, kalau Mr. Hijau Green mau, dengan gaya menulisnya yang oke, mungkin dia bisa menulis buku genre fiksi ilmiah yang sama okenya dengan karya duetnya bersama David Levithan.

Posting ini diikutkan dalam Reading Challenge::
|

2 comments:

  1. haaaahhh....sama banget sama pemikiranku...aku nggak merasa buku ini menyentuhku seperti waktu baca ways to live forever misalnya. disini kisahnya terlalu datar, karakternya pretensius dan terlalu "keren" dialog2nya untuk ukuranku :D

    BalasHapus
  2. Saya kira saya doang yang merasa buku ini membosankan :))

    BalasHapus

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!