Takdir Elir [Hans J. Gumulia]

(Vandaria Saga) Takdir Elir


 

 Penulis: Hans J. Gumulia

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: XXIV + 244 halaman

Stew Score: Almost Sweet (2,5 of 5)

Icip-icip (Vandaria Saga) Takdir Elir

Rozmerga
Dia adalah seorang gadis frameless anggota Kesatria Valiant Ordo Vhranas. Kehidupannya berubah ketika dia diutus untuk pergi menuju sebuah benua yang letaknya jauh di timut laut Tanah Utama Vandaria yang bernama Elir.

Liarra
Dia adalah seorang gadis frameless, jago memanah, dari marga Flavianus. Selama ini sepanjang hidupnya dia habiskan di dalam Hutan Tenteram Raz’Vinel. Kehidupannya berubah saat busur panah legendaris memilihnya untuk jadi pemegangnya.

Sigmar
Dia adalah seorang pemuda blasteran (setengah frameless-setengah manusia). Meski usianya sudah menginjak angka 2 dalam puluhan, tampaknya dia belum dewasa secara tingkah laku. Kehidupannya berubah ketika menemukan Liarra tidur-tiduran di gurun pasir.

Althor
Dia adalah raja muda Kerajaan Serenade. Dengar-dengar sih dia seorang berpegang teguh pada prinsip dan peraturan. Kehidupannya berubah ketika keberangkatan menuju batas timur kerajaannya terganggu oleh kehadiran Rozmerga.

Xaliber
Dia adalah raja (masih cukup muda juga) kerajaan Vandergaard yang jarang sekali mengekspresikan emosinya. Dipercaya dia menyembunyikan masa lalunya di balik sorot matanya yang setajam tatapan serigala kelaparan (?). Kehidupannya berubah ketika Rozmerga datang menemuinya.

Lima sosok. 2 manusia, 2 frameless, 1 blasteran. Takdir apa yang telah menunggu mereka?

Citarasa (Vandaria Saga) Takdir Elir

Aku mendapat Takdir Elir gara-gara memenangi kontes Vandaria yang diadakan oleh mbak Truly. Terima kasih ya mbak Truly telah mengadakan kontes tersebut :)

Diantara semua kisah Vandaria, Takdir Elir adalah buku Vandaria Saga yang pertama aku tahu. Hal itu dikarenakan beberapa orang ramai membicarakannya di grup Kastil Fantasi di goodreads.

Demi menjaga rasa lapar (baca: penasaran), aku sengaja hanya membaca sedikit obrolan mereka di grup, tapi sebisa mungkin tidak membaca satu review pun.

Kemasannya lumayan. Aku suka keberadaan roda-roda bergerigi. Bagiku, itu pertanda, ada setitik science-fiction dalam Takdir Elir. Dan ternyata… Aku tidak dikecewakan dalam hal ini.

Tapi kita bahas rasa manisnya (baca: hal-hal yang aku suka) nanti saja di akhir review.

Pastinya penasaran dong kenapa aku hanya memberi Takdir Elir score “Almost Sweet”?

Pertama, keberadaan footnote di halaman 10 dan ujung dalam ruangan bundar di halaman 11. Aku rasa, banyak sekali yang tahu makhluk apa itu, meski pembaca bukan pembaca (buku) fantasi tingkat akut. Dan, setahuku, bundar atau lingkaran tidak memiliki ujung.

Kedua, keberadan lagu-lagu. Aku mencoba untuk melantunkannya, tapi karena liriknya… Sangat mirip, jadinya datar-datar saja.

Ketiga, adegan serangan bandit di hutan dan kejadian setelahnya. Sumpah, aku dibuat melongo habis-habisan! (lebay detected). Masa iya prajurit yang diperkenalkan telah berpengalaman dikalahkan dengan sangat mudah?

    Mereka kan nyerangnya tiba-tiba dan punya teknik khusus, Jun. Wajar aja–

Iya, sangat wajar memang bandit menyerang tiba-tiba. Masa iya ada bandit yang minta izin dulu saat mau nyerang? Jangan bikin aku ngakak ah :lol: kalau teknik yang digunakan, bagiku itu juga nggak special. Biasa aja bila dibandingkan dengan kesatria berpengalaman.

Lalu kejadian selanjutnya. Hal itu membuat benakku berpikir, apa mungkin “musik” kesukaan pimpinan bandit itu adalah rintihan kesakitan dan jeritan putus asa? Atau memang dia lebih suka “mangsa” dalam keadaan sadar?

Keempat, keinginan perang para rakyatnya. Ini bikin aku lebih melongo lagi. Pantas saja perdamaian susah diraih. Bagiku, dan mungkin kebanyakan orang yang setuju perang itu buruk, masih mending kondisi yang menggantung daripada perang. Aku gemes banget nyela perbincangan antara Terrance dan Salian dengan, “Sob, harga nyawamu berapa sih?” Dan “Kamu yatim-piatu, nggak punya pacar dan nggak punya teman, ya?” Juga “Kamu nggak nyesel mati di perang yang bahkan belum jelas alasannya apa?” Lalu “Hello, alasan aja belum ada, mau mengadakan perang gitu aja? Setahuku, perang itu ada aturannya.” Kemudian “Please ya, kalau mau mati, mati aja sana. Jangan ajak-ajak orang.”

Bagaimana pun, bagiku, perang bukan jalan penyelesaian terbaik. Lagipula, bukankah Althor dan Xaliber adalah sahabat? Mereka kan bisa mengadakan perjanjian perdamaian. Ya, meski pada akhirnya mereka melakukannya. Yang jadi pertanyaanku adalah, kemana aja mereka hingga baru saat itu melakukannya? Atau jangan-jangan mereka berdua bertindak berdasarkan survei lagi? :lol:

Aku tidak benci pada kisah peperangan. Aku suka banget dengan trilogi Lord of The Rings. Tapi aku kurang suka dengan seseorang yang tidak menghargai nyawanya sendirinya.

Kelima, profil karakter. Menurutku, akan lebih bagus bila karakternya dikenal dari deskripsinya di dalam kisah. Lagipula, berat badan seseorang kan berubah setiap hari.

Untuk masalah typo, aku menemukan 25 typo, kebanyakan dari huruf kapital dan tanda baca. Uniknya, dua diantaranya adalah marganya Liarra, Flavianus: pernah disebut Flavinus dan Flavianuz. Dan, menurutku, kehilangan satu kata di halaman XV (sorotnya?).

Keberadaan perbincangan Liarra dan Sigmar di halaman bernomor romawi menurutku juga sia-sia.

Banyak juga ya rasa asamnya, heheh. Berarti sekarang membahas rasa manisnya.

Satu, plotnya yang cepat.

Dua, dilengkapi oleh ilustrasi-ilustrasi ciamik. Kalau yang satu ini sih memang tidak perlu dibahas lagi. Buku-buku Vandaria Saga memang selalu dilengkapi iliustrasi.

Tiga, bahasanya mudah dipahami.

Empat, kilasan masa lalu dan endingnya. Kilasan masa lalunya menerbitkan air liurku (baca: rasa penasaran). Meski aku sudah bisa menebak endingnya sebelum membalik halaman ilustrasi terakhir, aku selalu suka dengan kisah yang melibatkan perjalanan lintas *bip* (baca: sensor). Secara butuh ketelitian sangat tinggi untuk membuatnya dengan sangat pas. Jadi aku bisa menjamin, aku bakal membaca buku kedua Takdir Elir.

Lima, aku punya tandatangan penulisnya! Bagaimana pun, buku bertandatangan penulis itu langka, hahah.

Enam, aku suka teknologi di republik tempat tinggal Sigmar. Meski aku bertanya-tanya dimana letak sumber airnya.

Secara keseluruhan, Takdir Elir lumayan. Meski aku lebih suka Kristalisasi (sebenarnya tidak adil juga sih membandingkan dua jenis karya yang bentuknya saja sudah beda). Hanya saja, ada banyak hal yang membuatku belum bisa merasa ini “sweet” dalam standar “kecapanku” (baca: bacaanku). Sebenarnya aku curiga, jangan-jangan Takdir Elir ini hanyalah sebuah appetizer atau makanan pembuka. Dan juga mengenai keberadaan Gurun Pasir Tak Bernama, aku mengendus ada kemiripan dengan legenda gurun Sahara, hehe.

Oh iya, ada kejadian konyol saat aku sampai di bab dimana ada Terrance dan Salian. Aku sampai mengukur dengan penggaris berapa jarak antara Torvain pada garis perbatasan dan Torvain dengan kota Ferklam. Lalu membandingkan hasilnya dengan hasil perhitungan sama kota Lorvain. Aku hanya penasaran mana yang paling dekat dengan Vandergaard, heheh.

P.S. Maafkan penggunaan kata blasteran. Habis mau nyebut setengah frameless, dia juga setengah manusia. Jadinya aku sederhanakan saja :mrgreen:

Recommended for: Pembaca kisah fantasy atau petualangan yang suka cerita beralur cepat.

0 comments:

Posting Komentar

 

I'm part of...

Follower

Hey, Jun!